Parlementaria
Parlementaria BNA
Webinar tersebut juga diikuti Ketua DPRK Banda Aceh, Farid Nyak Umar, dan dihadiri narasumber yakni akademisi Fakultas Hukum Unsyiah, Sulaiman Tripa, Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Prof Farid Wajdi, Ketua Forum Studi dan Advokasi Kebijakan Aceh, Muhammad Taufik Abda ,dan Kadis Dinas Pemberdayaan Masyarakat Gampong Kota Banda Aceh, Dwi Putrasyah.
Musriadi mengatakan, eksistensi mukim harus memiliki legalitas yang kuat dari sisi payung hukum. Sebagaimana yang diatur dalam regulasi, mukim sebagai lembaga adat juga merupakan lembaga pemerintah. Kedua unsur ini diibaratkan seperti jasad dan roh yang tidak bisa dipisahkan.
"Dengan kegiatan webinar yang melibatkan praktisi, akademisi, dan stakeholder terkait diharapkan kapasitas mukim ini memiliki sebuah legalitas secara esensial dan eksistensi dalam menjalankan pemerintahan mukim. Tentunya tidak memiliki tumpang tindih dengan camat dan keuchik," katanya.
Musriadi menjelaskan, meskipun Undang-Undang Pemerintahan Aceh sudah memiliki turunan qanun terkait pemerintahan mukim seperti Qanun Nomor 3 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan Mukim dan Pemberhentian Mukim dan Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat Istiadat dalam Perselisihan Sengketa Ringan, Qanun Nomor 10 tentang Lembaga Adat. Dari qanun tersebut diturunkan lagi ke setiap kabupaten/kota dapat menyusun qanun mukim itu sendiri yang mengakomodir tugas dan fungsi wewenang imum mukim.
"Tentunya ini merupakan sebuah kearifan lokal. Banda Aceh tidak sama dengan daerah lain karena daerah lain memiliki kearifan lokal tersendiri," katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua DPRK Banda Aceh, Farid Nyak Umar, menegaskan, lahirnya Qanun Pemerintahan Mukim ini bukan untuk mengambil atau mengurangi peran dan wewenang camat, tetapi untuk memperkuat peran dan fungsi pemerintah di tengah-tengah masyarakat dengan memperhatikan kearifan lokal.
"Kita berharap kegiatan webinar ini dapat memberikan kontribusi dari peserta webinar, baik berupa pemikiran, masukan dan saran kepada Komisi I DPRK Banda Aceh untuk penyempurnaan Qanun Pemerintahan Mukim berbasis kearifan lokal," tutur politisi PKS itu.[]
Qanun Pemerintahan Mukim untuk Memperkuat Eksistensi Mukim Berbasis Kearifan Lokal
Banda Aceh – Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Banda Aceh, Musriadi, menjelaskan, kehadiran Qanun Pemerintahan Mukim di Kota Banda Aceh untuk memperkuat eksistensi imum mukim dengan mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal.
Hal tersebut disampaikan Musriadi saat mengikui webinar dengan tema "Eksistensi Qanun Pemerintahan Mukim Berbasis Kearifan lokal" yang berlangsung secara virtual dari ruang kerjanya, Selasa (13/10/2020).
Hal tersebut disampaikan Musriadi saat mengikui webinar dengan tema "Eksistensi Qanun Pemerintahan Mukim Berbasis Kearifan lokal" yang berlangsung secara virtual dari ruang kerjanya, Selasa (13/10/2020).
Webinar tersebut juga diikuti Ketua DPRK Banda Aceh, Farid Nyak Umar, dan dihadiri narasumber yakni akademisi Fakultas Hukum Unsyiah, Sulaiman Tripa, Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Prof Farid Wajdi, Ketua Forum Studi dan Advokasi Kebijakan Aceh, Muhammad Taufik Abda ,dan Kadis Dinas Pemberdayaan Masyarakat Gampong Kota Banda Aceh, Dwi Putrasyah.
Musriadi mengatakan, eksistensi mukim harus memiliki legalitas yang kuat dari sisi payung hukum. Sebagaimana yang diatur dalam regulasi, mukim sebagai lembaga adat juga merupakan lembaga pemerintah. Kedua unsur ini diibaratkan seperti jasad dan roh yang tidak bisa dipisahkan.
"Dengan kegiatan webinar yang melibatkan praktisi, akademisi, dan stakeholder terkait diharapkan kapasitas mukim ini memiliki sebuah legalitas secara esensial dan eksistensi dalam menjalankan pemerintahan mukim. Tentunya tidak memiliki tumpang tindih dengan camat dan keuchik," katanya.
Musriadi menjelaskan, meskipun Undang-Undang Pemerintahan Aceh sudah memiliki turunan qanun terkait pemerintahan mukim seperti Qanun Nomor 3 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan Mukim dan Pemberhentian Mukim dan Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat Istiadat dalam Perselisihan Sengketa Ringan, Qanun Nomor 10 tentang Lembaga Adat. Dari qanun tersebut diturunkan lagi ke setiap kabupaten/kota dapat menyusun qanun mukim itu sendiri yang mengakomodir tugas dan fungsi wewenang imum mukim.
"Tentunya ini merupakan sebuah kearifan lokal. Banda Aceh tidak sama dengan daerah lain karena daerah lain memiliki kearifan lokal tersendiri," katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua DPRK Banda Aceh, Farid Nyak Umar, menegaskan, lahirnya Qanun Pemerintahan Mukim ini bukan untuk mengambil atau mengurangi peran dan wewenang camat, tetapi untuk memperkuat peran dan fungsi pemerintah di tengah-tengah masyarakat dengan memperhatikan kearifan lokal.
"Kita berharap kegiatan webinar ini dapat memberikan kontribusi dari peserta webinar, baik berupa pemikiran, masukan dan saran kepada Komisi I DPRK Banda Aceh untuk penyempurnaan Qanun Pemerintahan Mukim berbasis kearifan lokal," tutur politisi PKS itu.[]
Via
Parlementaria