Parlementaria
DPR Aceh : Pemerintah Pusat Perlu Berikan Kemudahan Nelayan Dapatkan BBM Subsidi
Ketua Fraksi Partai Gerindra DPR Aceh Abdurrahman Ahmad |
BANDA ACEH - Ketua Fraksi Partai Gerindra DPR Aceh Abdurrahman Ahmad mengatakan, Pemerintah Pusat perlu memberikan kemudahan bagi nelayan untuk mendapatkan BBM subsidi jenis bio solar untuk boat nelayan di bawah kapasitas 30 GT.
"Hampir di semua Pelabuhan Perikanan di Aceh, nelayan masih susah mendapat BBM subsidi bio solar karena kuota yang diberikan Pemerintah Pusat ke daerah jauh di bawah kebutuhan boat jaring dan pancing yang terdapat di pelabuhan perikanan tersebut," ungkap Ketua Fraksi Partai Gerindra DPR Aceh, Abdurrahman Ahmad, Jumat (4/10/2024) menanggapi maraknya penggunaan BBM non standar bagi boat jaring dan pancing di sejumlah Pelabuhan Perikanan di Aceh.
Sebagai contoh, sebut Abdurrahman Ahmad, persediaan stok BBM subsidi bio solar di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Kutaradja Lampulo. Di lokasi itu, ada terdapat satu unit tempat pengisian BBM nelayan. Tapi, kuota yang diberikan Pertamina sekitar 8 ribu liter. Sementara jumlah boat tangkap ikan kapasitas di bawah 30 GT jumlahnya mencapai 457 unit.
Boat tangkap ikan dan pancing berkapasitas 30 GT, sebut Abdurrahman Ahmad, susah mendapatkan BBM subsidi jenis bio solar, harus menunggu dua sampai tiga hari, baru bisa pergi melaut. Kondisi itu, sangat tidak memberikan ketenangan dan kenyamanan bagi nelayan yang akan menggunakan boat jaring dan pancing kapasitas di bawah 30 GT yang ingin pergi melaut.
Hal yang serupa juga dirasakan pemilik boat di atas 30 GT. Mereka dilarang menggunakan BBM subsidi jenis bio solar yang harganya di SPBU Rp6.800/liter. Boat/kapal jaring dan pancing di atas kapasitas 30 GT, harus beli BBM industri dengan harga sekitar Rp13.500 - Rp14.000/kg.
Sejumlah boat tangkap ikan di Aceh, membeli dan menggunakan BBM non standar/oplosan, karena harganya hanya Rp9.500 - Rp10.500/liter, dibanding harga BBM industri produk Pertamina mencapai Rp13.500 - Rp14.000/liter.
Resiko membeli BBM non standar, yang bersumber dari bekas sumur minyak tua, peninggalan perusahaan migas, seperti di Idi, Aceh Timur, peninggalan Asamerah, di Rantau, Aceh Tamiang peninggalan Pertamina dan lainnya, kata Abdurrahman Ahmad, mutu minyaknya tidak sama, dengan mutu minyak produksi BBM Pertamina. Bila digunakan untuk BBM boat jaring dan pancing ikan, resikonya takut mogok di tengah laut.
Abdurrahman menyerukan kepada toke-toke pemilik boat jaring dan pancing agar tidak menggunakan BBM non standar/oplosan hasil olahan dari migas sumur tua yang dilakukan sekelompok masyarakat.
Untuk BBM pergi melaut, kata Abdurrahman Ahmad, beli dan gunakan BBM standar, produksi Pertamina. Menurutnya, menggunakan BBM non standar, resiko yang akan ditanggung pemilik boat sangat besar nantinya. Pertama, mesin kapal, mudah dan cepat rusak. Untuk memperbaikinya butuh dana besar. Kedua, bisa mengancam keselamatan awak kapal dan boat di tengah laut, ketika masin kapal mati tiba-tiba.
DPR Aceh, kata Abdurrahman, akan terus memperjuangkan permintaan tambahan kuota BBM subsidi jenis bios solar untuk boat-boat nelayan kapasitas 30 GT kepada Pemerintah Pusat.
Sedangkan untuk boat kapasitas di atas 30 GT, kata Abdurrahman Ahmad, DPR Aceh, akan mengusulkan diberikan BBM non subsidi dengan harga yang terjangkau. Alasannya, kata Abdurrahman, pabrik pengolah minyak yang ada di Indonesia, saat ini sudah berhasil memproduksi minyak sawit menjadi minyak solar.
"Penurunan harga BBM non subsidi jenis dexlite dari Rp14.050 menjadi Rp12.700/liter, salah satu faktornya atas keberhasilan pengolahan minyak sawit menjadi BBM sejenis solar, yang dilakukan pabrik pengolahan minyak milik pertamina yang bisa digunakan untuk BBM mesin diesel," pungkasnya. [Adv]
Via
Parlementaria